Acara reuni ini bukanlah tanpa alasan diadakan. Satu tahun lalu, atas dasar keinginan dari dalam hati dan didorong niat yang besar, jutaan orang berduyun-duyun datang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua dan berkumpul di Monumen Nasional. Mereka semua memiliki satu tujuan, menuntut Sang Penista Agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diproses secara hukum dan ditahan di penjara atas ucapannya yang dinilai menistakan Agama Islam saat kunjungan ke Pulau Seribu.
Aksi 212 menjadi titik awal bagi bangkitnya fighting spirit Umat Islam yang mengalami pelecehan oleh seorang pejabat yang pada saat itu bergelar Gubernur Ibukota negara ini. Ahok dinilai melecehkan karena sebagai seorang Non-Muslim, Ahok berani menyinggung Surah Al-Maidah, salah satu surah dalam Al-Quran dan dikatakan sebagai alat untuk berbohong.
"JANGAN MAU DIBOHONGI ALMAIDAH 51 MACAM-MACAM ITU..."
Saat itulah, Umat Islam di Indonesia kemudian marah, mengecam bahkan menuntut agar Ahok diproses secara hukum. Hal itu menurut penulis wajar, bayangkan bila Ahok mengatakan itu di Malaysia atau di Brunei atau di Negara Arab, bukan tidak mungkin Ahok akan langsung dipenggal atau digantung atas ucapannya tersebut.
Aksi 212 adalah kebangkitan persatuan Umat Islam Indonesia. Mereka yang mendukung aksi ini (baik hadir maupun tak hadir) sudah jelas adalah mereka yang memperjuangkan Agama ini untuk tetap dihormati, bukan sebagai bahan olokan atau hinaan. Dan tentunya, Reuni 212 adalah sebagai peneguh atas kebangkitan tersebut. Penulis agaknya kecewa dengan mereka yang tidak mendukung aksi ini (padahal mereka mengaku beragama Islam) dan bahkan hingga menuduh bahwa peserta aksi ini dibayar dan diiming-imingi dengan nasi bungkus dan sebagainya.
Mari kita telaah bersama, bagi mereka yang tidak mendukung aksi ini karena dianggap tidak ada manfaatnya hingga bermuatan politis. Reuni 212 tidak mungkin ada apabila aksi 212 tidak ada. Aksi 212 tidak mungkin ada kalau saja Ahok tidak mengeluarkan penyataannya yang "melampaui batas" tersebut. Jadi siapa yang sepatutnya disalahkan atas adanya aksi-aksi ini apabila mereka mengira aksi ini salah? Kemudian Reuni aksi 212 tentu membawa banyak manfaat, dari yang paling simpel seperti terjalinnya silaturahim antar peserta aksi, hingga ladang amal yang dimanfaatkan oleh banyak warga (Muslim hingga Non-Muslim) berbagi makanan, minuman hingga layanan gratis bagi peserta aksi. Mereka semata-mata hanya mengharap doa dari peserta aksi agar usahanya dilancarkan, dan tentunya mengharap ridho dari Sang Maha Kaya.
Kemudian, terkait dengan dugaan bahwa aksi ini bermuatan politis, penulis tidak membantah bahwa aksi ini mengandungi muatan politis. Apa artinya? apakah itu buruk? Menurut penulis, TIDAK. Bedakan antara politis dan partai politik. Ketika berbicara tentang partai politik, maka tentunya aksi ini akan ditunggangi dan digiring untuk menyatakan Anti-Pemerintah, dan bahkan diarahkan untuk menyerbu Istana. Namun toh nyatanya tidak... Namun ketika berbicara mengenai politis, kembali pada definisinya bahwa politis adalah bersangkutan dengan politik (yaitu cara-cara untuk mencapai suatu tujuan) dalam hal ini adalah terkait dengan esensi Aksi 212, meneguhkan semangat dan kebersamaan Umat dalam melawan segala bentuk pelecehan dan penindasan terhadap sesama.
Lalu, telaah penulis mengenai mereka yang menuduh bahwa peserta aksi ini dibayar, pakai logika saja, berapa besar dana yang diperlukan untuk memboyong jutaan orang (pulang-pergi + akomodasi) ke Jakarta. Ada yang bahkan berani menyebut nominal hingga 600 ribu per orang untuk membayar peserta aksi ini, REALLY?? Untuk ongkos saja katakan naik pesawat kelas ekonomi PP bisa mencapai diatas 600 ribu, belum makan-minum dan akomodasi lainnya (tidak termasuk penginapan karena bisa saja menumpang menginap) Jadi angka tersebut saja sudah tidak realistis. Lalu siapa penyandang dananya? Apakah FPI sebegitu kaya sehingga mampu membayar sebegitu banyak orang? Bagaimana dengan kalangan artis dan politisi yang hadir di aksi ini, apakah mereka juga dibayar?
Hanya ada satu jawaban yang paling rasional, mereka datang atas dasar gerakan hati dan niat yang dalam, tulus Lillahi Ta'ala. Ratusan orang berjalan kaki dari Ciamis hingga Jakarta tidak mungkin kalau hanya karena bayaran ratusan ribu saja. Mereka yang berangkat sejak malam dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi naik pesawat dan kapal tidak mungkin mau meluangkan waktunya hanya karena bayaran semata. Maka penjelasan paling rasional adalah mereka mengharap ridho dari Sang Maha Kaya.
Kemudian, penulis tergelitik media-media mainstream yang entah apakah mereka sebegitu bencinya terhadap Umat Islam (garis lurus) atau benci kepada kebangkitan Umat Islam Indonesia, sehingga mereka membuat semacam framing bahwa Reuni 212 kemarin adalah aksi kemenangan kaum Intoleran, bahkan mengkait-kaitkan hal ini dengan Pilkada DKI Jakarta lalu dan Gubernur terpilih Anies Baswedan.
Untuk analisis intoleran, nyatanya aksi kemarin bukan saja milik Umat Islam saja, banyak tokoh-tokoh non-Muslim yang memang mendukung aksi ini merelakan diri untuk datang dan melihat langsung. Tidak ada intimidasi dan cemoohan kepada mereka yang non-muslim karena ini bukanlah aksi menentang mereka. Aksi 212 adalah aksi merajut kebangsaan, sehingga mereka yang non-muslim namun turut mendukung aksi ini akan tetap mendapat tempat yang semestinya. Lain halnya dengan media-media mainstream seperti METR* TV yang begitu dibenci oleh peserta aksi karena memang nyatanya media ini selalu membuat hal yang memojokkan Islam (padahal pemimpinnya yang juga ketua parpol berasal dari Aceh dan Islam).
Media ini pun kembali berulah, pada acara bertajuk Editorial Me*** Indonesia bertema "Meneladani Toleransi Sang Nabi", dalam salah satu narasinya yang tertampak gambar peserta aksi 212, disebutkan bahwa aksi Reuni 212 adalah aksi kemenangan atas Intoleransi, serta menyebut bahwa peserta aksi 212 adalah mereka yang intoleran, menyinggung pula hal-hal terkait Pilkada DKI Jakarta dan sebagainya.
Penulis rasa sudah saatnya media ini untuk dievaluasi, pejabat berwenang seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia hingga Majelis Ulama Indonesia harus mengambil sikap atas pemberitaan media ini yang sudah terlalu sering memojokkan umat Islam. Media yang sudah menjadi corong politik bagi Partai sang pemilik media dan rekan-rekan koalisinya termasuk sang penista agama tentu harus ada sikap yang harus diambil oleh pihak terkait.
Reuni Alumni 212 tak ubahnya reuni sekolah, mengenang masa-masa jaya ketika jutaan orang berkumpul menumbangkan popularitas sang penista agama, mengkritik pendukung fanatiknya hingga membasmi aura-aura jahat yang hinggap di sekeliling sang penista. Menjadi peneguh atas kebangkitan Umat Islam dalam melawan mereka yang menindasnya serta menjadi ajang silaturahmi dalam kerangka merajut kebangsaan. Politik adalah keniscayaan, guna mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Toleransi adalah harga mati, dan Islam sudah menjadikannya sebagai fondasi.
Wallahu 'alam...
0 comments:
Posting Komentar