Gelaran Puteri Indonesia 2018 telah selesai dilakukan, dengan Sonia Fergina dari Bangka Belitung terpilih sebagai Puteri Indonesia dan berhak mewakili Indonesia di kontes ratu sejagad, Miss Universe 2018. Namun, sama seperti tahun sebelumnya, tahun ini Puteri Indonesia diwarnai dengan sejumlah kontroversi yang menyertainya. Penulis yang tidak mau menyebut diri sebagai Maniac Pageant, hanya sebagai pengamat saja, menyaksikan acara ini sejak awal hingga akhir. Benar saja, semakin malam acara yang seharusnya berlangsung teratur malah menjadi awut-awutan. Penulis mencatat sejumlah kontroversi yang akan dijabarkan berikut.
Miss Universe 2017, Demi-Leigh Nel-Peters |
Penulis runut dari awal kontroversi, yaitu saat MC, Farhannisa Nasution dan Andhika Pratama memanggil kehadiran Miss Universe 2017, Demi-Leigh Nel-Peters di atas pentas. Langsung saja, puluhan penari menyesaki panggung yang saat itu juga terisi oleh 39 finalis yang baru saja menyelesaikan Opening Act. Penari tersebut seakan menyambut Demi yang keluar dari balik LED. Demi pun kemudian keluar, melambaikan tangan dan tampak anggun dengan balutan gaun kebaya. Setelah itu MC pun berbasa-basi dengan Demi, mungkin sekitar 1-2 menit. Tak lama, MC pun memanggil 2 ratu internasional lain yang turut hadir, yaitu Miss International 2017, Kevin Lilliana, puteri kebanggaan Indonesia, dan Jenny Kim, Miss Supranational 2017 asal Korea yang sudah belasan tahun tinggal di Indonesia.
Miss Supranational 2017, Jenny Kim masuk dari sisi panggung. (sumber: Liputan6.com) |
Perlakuan yang diberikan sangat nyata berbeda. Tak ada penari yang muncul, kedua ratu ini keluar dari sisi panggung, BUKAN DARI TENGAH PANGGUNG, layaknya tamu tak spesial di malam itu. Namun, keanggunan keduanya tak terbantahkan, sebanding dengan Miss Universe yang sudah lebih dulu di depan panggung. Kekecewaan penulis langsung bertambah takkala MC hanya mengucapkan terima kasih atas kedatangan keduanya, tanpa ada basa-basi sedikitpun. Penulis saat itu berharap MC akan bertanya banyak seputar kemenangan Kevin sebagai Miss International pertama dari Indonesia, atau pengalaman Jenny semasa tinggal di Indonesia, yang pastinya menarik untuk didengar, sekaligus menambah motivasi bagi para peserta. MC pun langsung melemparkan peran kepada MC Backstage, Fero Walandouw dan Intan Aletrino.
Penulis pun kemudian hanya bisa berharap saat itu, mungkin saja ada momen khusus minimal bagi Miss International, Kevin Lilliana mengingat ia adalah Miss International pertama dari Indonesia dibawah naungan YPI. Kemudian move on ke bagian selanjutnya, saat penentuan 11 Besar, jujur saat itu penulis mendukung setidaknya 3 nama untuk bisa masuk disini, yaitu dari DKI Jakarta 4, Jesslyn; DKI Jakarta 6, Karina Basrewan dan Jawa Tengah, Kidung Paramadita. Semuanya murni karena rekam jejak yang baik dan menter dari finalis yang penulis dukung ini. Walau penulis sempat berdegup hati, ketiganya masuk dalam 11 Besar. Sampai dengan pertanyaan 11 Besar penulis tidak merasa ada keanehan apapun.
Masuk ke 6 Besar, penulis pun kemudian harus menelan kekecewaan karena 2 dari 3 finalis yang penulis dukung gagal masuk, yaitu Jesslyn dan Karina. Benar saja, IG ramai-ramai penuh dengan Pageant Lovers (PL) yang mengkritisi keputusan ini. Penulis pun legowo saja menerima ini. Kemudian masuk ke pertanyaan 6 Besar, mulai lah kontroversi kedua pun terjadi. Penulis kecewa lantaran pertanyaan sekelas 6 Besar sama dengan pertanyaan Cerdas Cermat anak SD. Kalimantan Barat misalnya, menerima pertanyaan "TITIPAN" yang dibacakan Kezia Warouw, PI 2016 untuk menyebutkan 6 cabang olahraga unggulan Indonesia di Asian Games. Kalimantan Timur pun menjawab dengan ragu-ragu, seakan mengingat hapalan di otaknya, sampai keluar jawaban "Bersepeda, Karena Orang Indonesia senang Bersepeda.." WHATTT.... Logikanya sangat awut-awutan. Inilah akibat Rezim yang gemar membagi-bagikan sepeda, sampai para Puteri pun didoktrin dengan Sepeda..Sepeda..dan Sepeda, CELAKA DUA BELAS..
Dewan Juri Puteri Indonesia 2018. (sumber: solopos.com/ IG Indopageants) |
Juri yang terlibat di malam final pun tak luput dari kritikan penulis. Bayangkan, 4 dari 9 dewan juri adalah ORANG PEMERINTAHAN REZIM INI. Jelas, menurut penulis, keempatnya tidak punya kompetensi apapun terkait dengan Kontes Kecantikan skala Internasional. Maka penulis tidak heran kemudian, apabila pertanyaan yang disampaikan pun hanya berupa pertanyaan hapalan: Sebutkan ini, Sebutkan itu. Seharusnya untuk pertanyaan sekelas 6 Besar lebih menonjolkan ke arah Analisis dan Ketajaman Pemikiran, bukan malah mereka-reka hapalan di otak.
Setelah 6 Besar selesai sesi tanya jawab, dan seluruhnya bisa ditebak, menjawab dengan ragu-ragu karena menghapal, masuklah ke babak 3 Besar. Di sini penulis makin kecewa karena Jawa Tengah yang menjadi satu-satunya unggulan penulis tidak masuk. Padahal menurut penulis, dengan kacamata objektif, layak untuk masuk 3 Besar. Celakanya, 3 Besar diisi oleh para finalis yang menjawab saat itu dengan terbata-bata dan kelamaan berpikir. Warganet pun makin dibuat geram, langsung mempertanyakan cara penilaian kepada penyelenggara lewat medsos.
Masuk 3 Besar, giliran Miss Universe, Demi memiliki peran penting untuk membacakan soal bagi mereka. Seakan tidak ada briefing di awal, Demi seakan terburu-buru membacakan soal tanpa melihat 2 finalis yang tidak ditanya sudah memakai headphone atau belum (karena pertanyaannya sama untuk 3 Besar). Demi pun berkali-kali menyampaikan maafnya kepada penonton. Kemudian pertanyaannya pun dibacakan (dalam Bahasa Inggris), yang intinya menanyakan hubungan antara finalis dan ibunya. Pertama, Bangka Belitung, menjawab dalam Bahasa Inggris tapi terbata-bata, seakan berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk jawabannya, dan tentunya membuat jawabannya menjadi tidak mengena. Kemudian, Kalimantan Barat, yang menjawab dengan MENANGIS di depan penonton, sungguh pemandangan yang haru, tapi selayaknya tidak dipertontonkan di depan umum. Banyak yang mengira hal ini seperti Mikrofon Pelunas Hutang, yang memperlihatkan pesertanya menangis di depan penonton. Sebagai Calon Puteri Indonesia, seharusnya ia bisa lebih tegar dan tidak emosional dalam menjawab, terlepas dari situasi dan kondisinya saat itu. Terakhir, Banten menurut penulis jauh lebih baik dibanding dua sebelumnya, menjawab dengan tenang namun kembali tidak mengena jawabannya. At least she was the best from the worst.
Masuk ke bagian terakhir, ketika pembacaan pemenang (dan berarti tidak ada momen khusus bagi Miss International seperti yang saya harapkan sebelumnya, KZL) terpilihlah Sonia dari Bangka Belitung sebagai Puteri Indonesia. Belum ada instruksi pemanggilan dari MC, langsung saja panggung penuh oleh bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat dan tamu undangan serta juri. Penulis melihatnya seperti layaknya hendak foto kondangan. Mirisnya, penobatan hanya memprioritaskan Pemenang yang akan ke Miss Universe, tanpa melihat Runner-up yang juga akan dikirim ke ajang internasional, Miss International dan Supranational. Runner-up pun harus merelakan mereka dicrowning tanpa ada perhatian dari bapak dan ibu di panggung. Bahkan Runner-up 3 PI 2017, Dea Rizkita harus rela menobatkan penerusnya di belakang panggung. Sungguh suatu diskriminasi yang nyata.
Sebagai penutup, penulis hanya bisa mengucapkan selamat bagi 3 Besar Puteri Indonesia 2018. Selamat bertransformasi dan membuktikan kepada barisan yang masih meragukan kalian (termasuk penulis) bahwa kami salah dalam menilai kalian. Penulis sekaligus mengingatkan Pageant Lovers yang membaca tulisan ini agar tidak membully 3 Besar yang terpilih, karena sesungguhnya 3 Besar dipilih oleh juri, dan bukan maunya mereka. Ini rejeki mereka, sehingga tidak pantas kalau mereka disalahkan atas apa terjadi. Kalau mau silahkan anda mengkritisi habis penyelenggara atau juri yang memberi pertanyaan konyol semacam tadi, bukan 3 Besar ini.
Dan untuk Yayasan Puteri Indonesia, sebagai penyelenggara kontes kecantikan tertua dan masih penulis anggap nomor satu di negeri ini, jangan malu untuk belajar dari junior anda. Pelajarilah dari kontes saingan anda, Miss Indonesia. Jangan gengsi untuk mencontoh sejumput kebaikan dari lawan anda. Ambil pelajaran dari kontes ini, bagaimana cara memuliakan tamu, cara mencari peserta dengan kualitas public speaking mentereng, sampai juri yang tidak dipolitisasi. Miss Indonesia tidak malu mengambil pelajaran dari kontes Miss Universe, lihat saja pertanyaan 16 Besar tadi, beberapa diantaranya pernah ditanya di Miss Universe, padahal ia adalah kepunyaan kontes saingan, Toh, kenapa tidak?
Segala evaluasi dan kritik pedas ini semata-mata untuk mengembalikan kredibilitas Puteri Indonesia ke masa-masa jayanya dulu, ketika Pageant Lovers sangat antusias melihat pemenang yang terpilih, murni karena memang dia layak, bukan karena titipan, skenario, konspirasi, settingan atau apalah itu.. Menghargai setiap kritik yang membangun adalah perlu agar orang mau menghargai anda. Bagaimana anda mau dihargai kalau anda sendiri tidak bisa menghargai orang lain. Apakah 3 Besar yang terpilih bisa memberi yang terbaik? Wallahualam, biarkan waktu yang akan menjawab..
0 comments:
Posting Komentar