Rabu, 15 Juni 2016
Di tengah kontroversi yang banyak dibicarakan di media sosial mengenai razia satpol PP di Serang terhadap warung makan bu Eni yang menggugah sekelompok masyarakat untuk menggalang donasi bagi warteg Bu Eni, saya menemukan artikel ini di laman Facebook Tere Liye, yang mengungkap sisi lain "toleransi" dalam menjalankan ibadah puasa. Berikut penulis sajikan kutipan artikel tersebut.
12 tahun silam, saat saya baru lulus kuliah, saya sudah menemukan konsep baru yang sangat membingungkan ini: "Orang-orang berpuasa diminta menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Maka, saat ramadhan datang, apa salahnya jika tempat-tempat hiburan tetap buka, rumah makan tetap beroperasi penuh, dan sebagainya. Apa salahnya jika klub malam tetap beroperasi. Toh, mereka juga mencari makan, nafkah dari bisnis mereka".
Saya membaca tulisan itu di milist (jaman itu belum ada media sosial). Saya masih muda, masih tidak berpengalaman. Saat membaca tulisan tersebut, aduhai, isinya masuk akal sekali. Benar loh, kan kita berpuasa itu disuruh menahan diri, agar jadi lebih baik, masa’ kita akan tergoda saat melihat warung buka, masa’ kita akan tergoda saat melihat tempat hiburan ada di mana-mana? Full beroperasi. Kalau masih, berarti puasa kita nggak oke.
Itu logika yang masuk akal sekali. Tapi saya bersyukur, saya tidak pernah membiarkan “logika” sendirian saat menentukan prinsip-prinsip yang akan saya gigit. Saya selalu memberikan kesempatan mendengarkan pendapat lain.
Baik. Itu mungkin masuk akal, orang-orang berpuasa disuruh menghormati orang-orang tidak berpuasa, tapi di mana poinnya? Apakah orang-orang yang berpuasa mengganggu kemaslahatan hidup orang-orang tidak berpuasa? Apakah orang-orang berpuasa ini punya potensi merusak? Sehingga harus ada tulisan, himbauan, pernyataan:
"Kalian yang puasa, hormatilah orang yang tidak berpuasa."
No way, man, itu logika yang bablas sekali. Saya tahu, ada banyak razia penuh kekerasan dilakukan kelompok tertentu atas tempat-tempat hiburan, warung-warung, dll. Tapi itu bukan cerminan kelompok besar muslim di negeri ini. Kelompok besarnya, bahkan tidak suka dengan cara-cara penuh kekerasan ini, pun tidak suka dengan kelompok ini.
Lantas siapa yang seharusnya menghormati?
Default dalam situasi ini adalah: ingatlah baik-baik, ramadhan itu sudah ribuan tahun usianya, 1.434 tahun tepatnya. Bahkan perintah shaum, itu hampir seusia manusia di bumi ini, agama-agama terdahulu juga memilikinya. Kalau itu sebuah tradisi, maka dia lebih tua dibanding tradisi apapun yang kalian kenal, silahkan sebut tradisinya, puasa lebih tua.
Maka, tidak pantas, manusia yang usianya paling rata-rata hanya 60 tahun, tiba-tiba mengkritisi puasa, memandangnya sebagai sesuatu yang artifisial, tidak penting, dsbgnya. Ramadhan adalah bulan paling penting dalam agama Islam, jelas sekali posisinya.
Sama dengan sebuah komplek, itu komplek sudah 1.434 tahun punya tradisi tidak boleh memelihara hewan peliharaan. Kemudian datanglah keluarga baru, membawa hewan yang berisik sekali setiap malam. Siapa yang disuruh menghormati? Wow, warga satu komplek yang disuruh menghormati keluarga dengan hewan berisik?
Demi alasan egaliter, HAM, kesetaraan, kebebasan, dan omong kosong lainnya. Kalian tahu, ketika orang2 tidak punya argumen substantif dalam hidup ini, maka senjata mereka memang hanya itu: kebebasan.
Amunisi paling mudah saat melawan agama adalah: kebebasan. Hingga lupa, siapa sih yang over sekali menyikapi situasi ini?
Karena sejatinya, tidak ada pula yang menyuruh warung-warung full tutup, warung makan cukup diberikan tirai saat bulan Ramadhan, semua baik-baik saja. Itu lebih dari cukup. Lantas soal klub malam? Diskotik? Tempat menjual minuman keras?
Kalian punya 11 bulan untuk melakukannya, diminta libur sebulan, apa susahnya? 11 bulan orang lain menghormati kalian melakukannya, maka tiba giliran 1 bulan, apa susahnya mengalah? Tidak perlu sampai ribut, sampai berantem, sampai dirazia, cukup kesadaran diri saja. Tidak ada yang meminta kalian tutup 12 bulan.
Kusutnya masalah ini, kadang yang mengotot sekali justeru sebenarnya beragam Islam. Orang-orang yang beragama lain, sudah otomatis menyesuaikan diri. Saya punya banyak teman-teman non Islam, saat mereka makan siang, mereka dengan sangat respek minta ijin, bisa menempatkan diri dengan baik.
Hampir semua agama itu punya ibadah yang harus dihormati. Di Bali misalnya, saat Nyepi, mau agama apapun, semua orang diminta menghormati Nyepi. Tidak ada alasan: kebebasan, boleh dong saya hura-hura saat Nyepi.
Saya tahu, silahkan saja jika kalian tetap punya tapi, tapi dan tapi. Saya hanya mengingatkan: sekali orang-orang mulai terbiasa membolik-balik logika, dalam urusan ini, hanya soal waktu, besok lusa akan ada yang bilang: adzan di masjid itu mengganggu.
Kemudian orang-orang akan mengangguk, mengamini, benar juga ya, kenapa harus teriak-teriak sih adzannya? Kenapa harus pakai speaker? Kan bisa pakai SMS, miskol, dll. Itu pemeluk agama Islam kok bego banget, tidak tahu teknologi.
Saat itu terjadi, maka silahkan tanggung dosanya, wahai kalian, orang-orang yang bangga sekali dengan logika hidupnya. Bangga sekali dengan kepintarannya berdebat, kalian –mungkin tanpa menyadarinya– telah memulai menggelindingkan bola salju agar orang-orang lain mulai meninggalkan agamanya.
Terakhir, ada jutaan anak-anak kami yang baru belajar puasa ramadhan ini, saat mereka pulang sekolah TK, SD, saat mereka habis-habisan menahan haus dan lapar, maka jika kalian yang keblinger sekali pintarnya tidak bisa melihat mozaik besar ramadhan, maka lihatlah anak-anak ini, mereka sedang berusaha taat melaksanakan perintah agama–bahkan saat mereka belum tahu-menahu. Hormatilah anak-anak kami ini. Jangan suruh mereka menghormati orang-orang yang tidak berpuasa.
Oleh: Tere Liye
Popular Posts
Blog Archive
About
Translate
Copyright ©
Emille Ilmansyah | Powered by Blogger
Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Segala isi dan elemen dari blog ini dilindungi oleh undang-undang.
0 comments:
Posting Komentar